Disampaikan oleh Abdul Muttaqin dan Ahmad Sofyan
Seperti apa model pendidika yang ideal? itu adalah salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan seputar pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Maksudnya adalah membangun manusia Indonesia yang memiliki kemampuan di bidang Iptek namun juga tidak lepas dari kendalinya yaitu iman ddan takwa dan yang penting juga adalah tidak sampai melepas identitas bangsa Indonesia yang sarat dengan budaya ketimuran. Sekilas manusia Indonesia yang ideal adalah manusia Indonesia dengan berbagai adat kebudayaannya yang memiliki keahlian di semua lini teknologi dan ilmu pengetahuan namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan keudayaannya.
Lahirnya manusia Indonesia yang demikian tentunya tidak serta merta melainkan harus melewati sebuah proses. Pendidikan, iya itulah proses yang harus dilewati oleh semua orang. Lalu pertanyaan di atas tadi muncul dan berikut ini mungkin hanya salah sedikit dari alternatif jawaban yang bisa menjawab pertanyaan di atas.
A. Pendahuluan/ Latar Belakang Masalah
Sejarah pemikiran dalam Islam memang merupakan
bawaan dari ajaran Islam sendiri. Karena dalam Al-Qur’an terdapat banyak
ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal, yang
kesemuanya medorong umat Islam terutama pada ahlinya untuk berfikir mengenai
segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan.
Kebangkitan pemikiran dalam dunia Islam baru
muncul abad 19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamalludin al-Afghani di Asia
Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Kedua tokoh ini di bawa oleh
pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah seperti diantaranya
K.H. Ahmad Dahlan. Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari
Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.
Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan
pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la
menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan
menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun.
Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam
ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan
corak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
riwayat hidup KH. Ahmad Dahlan?
2. Bagaimana
kondisi sosial budaya masyarakat Jogjakarta?
3. Bagaimana
konsep pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan?
C. Pembahasan
1. Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
a. Riwayat Kelahiran dan Silsilah Keluarga
Kyai
Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 dengan
nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari
tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo. Silsilah KH. Ahmad Dahlan
ialah:
1. Maulana
Malik Ibrahim,
2. Maulana
Ishaq,
3. Maulana
'Ainul Yaqin,
4. Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen),
5. Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
6. Demang
Djurung Djuru Sapisan,
7. Demang
Djurung Djuru Kapindo,
8. Kyai
Ilyas,
9. Kyai
Murtadla,
10. KH.
Muhammad Sulaiman,
11. KH.
Abu Bakar,
12. Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan).
b. Riwayat Pendidikan
Pada
usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf
dalam masjid Agung dengan memakai kapur, tanda shaf itu bertujuan untuk
memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Berdasarkan hasil penelitian yang
sedehana Ahmad Dahlan berksimpulan bahwa kiblat di masjid Agung itu kurang
benar dan oleh karna itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas
menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan
tanda shaf ditulis dengn benar.
Atas
biaya Sultan Hamengkubuwono VII, Ahmad Dahlan dikrim ke Mekkah untuk
mempelajari masalah kiblat tersebut secara mendalam. Sekembalinya dari Mekkah
Ahmad Dahlan diangkat sebagai khatib menggantikan ayahnya dan mendapat gelar
“Mas”.
Pada
umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan
Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan.
Pada
tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Kiai
Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh
di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata
bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai
Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid
Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu
pengobatan dan racun binatang.
c. Riwayat Perjuangan
Dengan
maksud mengajar agama maka pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo, organisasi
yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang
diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para
anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri
yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal duni. Saran itu kemudian
ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi
nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi
Muhammadiyah bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui
organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat
Islam.
Bagi
Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai
dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat
memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan
amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut
pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari
kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan
suatu dogma yang mati.
Ahmad
Dahlan adalah seorang yang lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan
semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara, banyak bekerja. Beliau juga
adalah seorang murid ulama Syafi’iyah, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di
Mekkah.
Di
bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren
zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya
lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka
Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran
pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah
seperti H.I.S. met de Qur'an.
Sebaliknya,
beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan
terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya,
beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit,
poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan
dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Pada
tanggal 01 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar dalam
lingkungan keraton Yogya. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa
guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen dan merupakan sekolah
Islam swasta pertama yang mendapatkan subsidi pemerintah[1].
Di
bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang
khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan
bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita
dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang
dikenal dengan nama Pramuka, dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana
para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek,
berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian
seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan
Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan
bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot
melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan
keadaan dan kemajuan zaman. Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan
ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan
langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti
diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Melihat
metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau
mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan
perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab
karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui
tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain.
Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu
kitab atau buku agama.
Pada usia 66
tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas
jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau
gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan
tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember
1961.
2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Sinkretisme masih tumbuh subur di tanah Jawa,
lebih-lebih di sekitaran keraton Yogyakarta lingkungan di mana KH. Ahmad Dahlan
tinggal. Masyarakat saat itu secara formal muslim, namun kepercayaan terhadap
agama asli mereka yang animistis tidak beruah. Kepercayaan terhadap roh-roh
halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan
sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme
hadir secara bersama-sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah
Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.[2]
Kolonialisme Belanda telah menjadikan kehidupan
masyarakat semakin sengsara. Masyarakat tidak sejahtera, baik secara ekonomi
maupun dalam hal pendidikan. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk mensukseskan gerakan kristenisasi di tanah Jawa. Ini yang kemudian
menjadikan KH. Ahmad Dahlan perihatin, di satu sisi masyarakat yang secara
formal memeluk Islam meskipun praktiknya belum menunjukkan keislamannya yang
kaffah dan di satu sisi yang lain pihak Belanda berusaha menarik
masyarakat-masyarakat supaya meninggalkan agama Islam lewat program
kristenisasi.[3]
Sekolah-sekolah model Belanda sudah mulai didirikan
di Yogyakarta. Warga pribumi memang dizinkan sekolah di sekolah Belanda saat
itu. Tujuan diperbolehkannya sekolah di sekolah Belanda tidak lain adalah agar
Belanda bisa mendapatkan tenaga kerja yang dapat digaji murah namun mau
mengabdi pada kepentingan Belanda.[4]
Belanda menanamkan faham-faham liberalisme dan
individualisme di kalangan masyarakat Yogyakarta.[5]
Tujuannya adalah supaya rasa persaudaraan dan kebersamaan masyarakat menjadi pudar
sehingga Belanda merasa aman karena tidak ada lagi masyarakat yang berkeinginan
untuk ersatu dan melawan Belanda.
Strata sosial yang menduduki posisi puncak adalah
mereka warga kulit putih meskipun jumlahnya sedikit, baru kemudian lapisan di
bawahnya adalah masyarakat yang memiliki kulit berwarna.
3. Konsep Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Konsep pemikiran beliau di dalam pendidikan adalah
perpaduan antara model pendidikan barat dan pendidikan pesantren yang sudah ada
sejak seelumnya. Beliau mengawinkan model pendidikan barat dengan sistem
klasikalnya dengan pendidikan ala pesantren. Perkawinan itu nampak ketika
beliau memberikan pelajaran keagamaan di sekolah-sekolah gavernemen dan
memberikan pelajaran-pelajaran umum di pesantren dengan sistem kalsikal.[6]
Konsep pemikiran yang demikian disebabkan oleh
pengaruh lingkungan Yogyakarta yang sudah mulai modern, khususnya wilayah kota
dimana beliau tinggal. Hal ini bisa dilihat pada sejarah kota Yogyakarta dari
tahun 1917 – 1940, seperti yang diceritakan oleh M. Heni Yuliana di dalam
penelitiannya. Orang-orang Eropa saat itu turut mempengaruhi kondisi sosial
masyarakat Kota Yogyakarta. Saat itu fasilitas-fasilitas umum seperti rumah
sakit, stasiun dan sekolah sudah didirikan oleh Belanda.[7]
KH. Ahmad Dahlan merasa tidak puas dengan system dan
praktik pendidikan yang ada di Indonesia saat itu, dibuktikan dengan
pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang
baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.[8]
Karena itu KH. Ahmad Dahlan merentaskan beberapa pandangannya mengenai
pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah yang kita seut dengan
konsep pendidikan integralistik.[9]
Pendidikan
di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler yang tidak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat)
pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga
untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan
itu.
Sistem pendidikan integralistik ini nampak dari
usaha-usaha yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Di antara usaha-usaha
tersebut adalah:
- Mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern belanda dalam madrasah-madrasah pendidikan agama.
- Memberi muatan pengajaran islam pada sekolah-sekolah umum modern belanda.[10]
D. Simpulan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di
Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 dengan nama kecilnya adalah
Muhammad Darwisy. Beliau termasuk tokoh ulama’ yang tidak banyak memiliki karya
tulis, namun beliau langsung menerapkan segala pemikirannya dengan tindakan
yang nyata. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi Muhammadiyah pada
tahun 1912 di Yogyakarta.
Kondisi sosial budaya masyarakat di
sekitar Yogayakarta dan latar belakang pemikiran para guru dan temannya ketika
menimba ilmu di kota suci Mekkah memuat beliau lebih moderat di dalam
menerapkan model pendidikan.
Beliau menawarkan sebuah konsep sistem
pendidikan integralistik. Beliau berupaya mengadopsi metode pendidikan barat
untuk diterapkan pada model pendidikan pesantren yang sudah ada. Beliau juga
berusaha sekuat tenaga untuk membentengi masyarakat Yogyakarta dari pengaruh
kristenisasi, yaitu dengan cara ikut serta memberikan pelajaran keislaman pada
sekolah-sekolah gubernemen. Beliau juga berupaya membuka pemikiran masyarakat
yang masih tradisionalis guna membebaskan mereka dari pengaruh-pengaruh budaya
lokal yang masih animistis. Beliau memberikan muatan-muatan pelajaran umum pada
pendidikan pesantren.
E. Daftar Pustaka
Hamzah Wirjosukarto, Amir. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam. Jember:
Mutiara Offset. 1985
Nata, Abuddin. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Sari,
Puspita. Kajian Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam Menurut Ahmad Dahlan.
http://puspitabungsu.blogspot.co.id/2013/05/pendidikan-dalam-persepsi-kyai-haji.html.
diakses pada tanggal 17 Oktober 2015
Tiar,
Nissa. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan. https://www.academia.edu/7608840/PEMIKIRAN_K_H._AHMAD_DAHLAN.
diakses pada tanggal 17 Oktober 2015
Yuliana,
M. Heni. Keadaan Sosial Budaya Kotabaru Yogyakarta Pada Masa Kolonial (1917
– 1940). (Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY: Yogyakarta.
2013)
Yulianto, Toni. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah di Indonesia.
https://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/.
diakses pada tanggal 21 Oktober 2015
[1] Puspita Sari, Kajian
Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam Menurut Ahmad Dahlan,
http://puspitabungsu.blogspot.co.id/2013/05/pendidikan-dalam-persepsi-kyai-haji.html,
diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Toni Yulianto,
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah di Indonesia,
https://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 21 Oktober 2015.
[3] Ibid.
[4] M. Heni
Yuliana, Keadaan Sosial Budaya Kotabaru Yogyakarta Pada Masa Kolonial (1917
– 1940), (Skripsi Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2013),
h. 32
[5] Ibid, h. 40.
[6] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, h. 256
[7] M. Heni Yuliana, Op. Cit,
h. 42
[8] Amir Hamzah
Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember:
Mutiara Offset, 1985, h. 95
[9] Nissa Tiar, Pemikiran
KH. Ahmad Dahlan, https://www.academia.edu/7608840/PEMIKIRAN_K_H._AHMAD_DAHLAN,
diakses pada tanggal 17 Oktober 2015
[10] Ibid.
No comments:
Post a Comment
MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU