Disampaikan oleh Hasniah
A.
PENDAHULUAN
Pengetahuan
adalah suatu
keadaan yang hadir dikarenakan persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan
kedalaman kehadiran kondisi-kondisi
ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat bergantung
pada sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. John Dewey menyamakan antara hakikat itu sendiri dan
pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan
observasi. Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas
yang tetap dan yang senantiasa berubah.
Para
filsuf Muslim membagi pengetahuan menjadi dua,yaitu pengetahuan ushuly dan
hudhury. Pengetahuan ushuly adalah pengetahuan yang kita dapat
melalui perantara panca indera. Adapun pengetahuan hudhury adalah
pengetahuan yang kita dapat tanpa perantara, yakni kita dan apa yang kita
ketahui itu adalah satu, bukan dua sesuatu yang terpisah.
Metode
ilmu ushuiy
banyak diterapkan di dalam tradisi keilmuan
barat,
yang berusaha mengeksploitasi sedemikian dalam obyek ilmu pengetahuan itu. Karena itu, obyek
ilmu pengetahuan harus terbebas dari
berbagai
aspek ketabuan dan kesakralan. Segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau sang
subyek (dengan menggunakan kekuatan logika) maka di situ tidak ada ilmu
pengetahuan.
Adapun
metode ilmu hudhury harus menghadirkan objek ilmu pengetahuan itu
menjadi bagian dari dirinya sendiri (from within), sehingga perolehan ilmu
pengetahuan itu lebih merupakan faktor dari dalam diri. Epistimologi keilmuan hushuly
lebih mengandalkan metode pengajaran (tadris), yaitu proses pembelajaran
terhadap orang yang masih memerlukannya, yakni mereka yang masih memiliki
pengetahuan terbatas. Sedangkan
epistimologi kelilmuan hudhury selain persoalan metodologi pendidikan
(tadris) penting, yang tak kalah pentingnya juga ialah metode pendidikan
(talim). Seorang anak bukan hanya untuk dibuat pintar (alim) tetapi juga untuk
dibuat cerdas dan arif .[1]
B. RUMUSAN
MASALAH
Dari uraian
di atas, adapun rumusan masalah
yang akan dibahas yaitu :
1. Apa karakteristik ilmu ushuly dan ilmu hudhury?
2. Bagaimana hakikat atau
esensi ilmu ushuly dan ilmu hudhury?
3.
Bagaimana implikasi ilmu ushuly dan hudhury dalam
pembelajaran?
C. TUJUAN
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui karakteristik ilmu ushuly dan ilmu hudhury
2. Untuk
mengetahui dan memahami hakikat dan esensi ilmu ushuly dan ilmu hudhury
3. Untuk
mengetahui implikasi ilmu ushuly dan hudhury dalam pembelajaran.
D. PEMBAHASAN
Pengertian
umum ilmu[2] hudhury
adalah pengetahuan yang diperoleh langsung tanpa melalui wasilah atau proses pembelajaran.
Ilmu hudhury biasanya dilawankan dengan ilmu ushuly, yaitu
pengetahuan yang dihasilkan melalui proses pengajaran atau melalui berita yang
diterima dari orang lain[3].
Ilmu hudhury sering juga disebut dengan istilah ilmu ladunni atau
menurut Mehdi Hairi Yazdi[4]
disebut sebagai “knowledge by presence”, yaitu ilmu yang diperoleh dengan
“menghadirkan diri”, bukan dengan mempelajarinya. Dalam kamus bahasa
Arab-Inggris, Hans Wehr[5] mendefinisikan
ilmu laduni sebagai “knowledge imported directly by God through mystic
intuition/sufism.” (pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui
intuisi mistis atau sufisme). Sebagai suatu bentuk pengetahuan langsung, ilmu hudhury
berkaitan dengan intuisi. Menurut Bahm[6],
intuisi adalah suatu bentuk pengetahuan langsung tanpa perantaraan dalam
perolehannya. intuisi merupakan istilah yang diberikan untuk suatu cara bagi
kesadaran dalam mengetahui yang disadari secara langsung, tanpa perantaraan apa
pun.
Ilmu
ushuly memiliki kemungkinan untuk salah, karena ada kemungkinan
perantara/panca indera mengalami masalah yang akhirnya salah menyampaikan informasi ke otak kita. Adapun
ilmu hudhury tidak mungkin salah, karena kita dan apa yang kita ketahui
adalah satu. Ilmu
hudhury merupakan landasan penting bagi seluruh konstruktivitas
pengetahuan manusia termasuk dalam pembelajaran, meskipun jumlah objek pengetahuannya
sangatlah minim.
1.
Korelasi Karakteristik Ilmu Hudhury dan Ilmu Ushuly
Mengenai
hubungan subjek-objek dalam
ilmu hudhury, Yazdi menjelaskan:
Dalam pengetahuan dengan
kehadiran, apa yang
disebut objek objektif sama
sekali tidak berbeda
status eksistensialnya dengan
objek subjektif. Artinya,
jenis objek yang
kita sebut sebagai objek esensial bagi gagasan
pengetahuan seperti ini bersifat imanen dalam pikiran subjek
yang mengetahui, dan
dalam pengetahuan dengan kehadiran ia
mutlak bersatu dengan
objek objektif. Dengan demikian, objek
objektif tidak lagi
absen dan aksidental
bagi nilai kebenaran pengetahuan
dengan kehadiran, atau
dengan kata lain, dalam
pengetahuan dengan kehadiran,
objek objektif dan
objek subjektif adalah satu dan sama.[7]
Dengan demikian, pada
hakikatnya subjek dan
objek dalam ilmu hudhury
adalah satu dan sama, atau dengan kata lain, baik yang mengetahui maupun yang
diketahui itu adalah
satu dan sama.
Selanjutnya Yazdi melawankan
karakteristik ilmu hudhury dengan ilmu ushuly sebagai berikut:
Pengetahuan dengan korespondensi adalah jenis pengetahuan yang
melibatkan objek subjektif
maupun objek objektif
yang terpisah, dan mencakup
hubungan korespondensi antar
keduanya. Dalam kenyataannya,
kombinasi objek-objek eksternal dan internal beserta derajat korespondensi
di antara mereka
membentuk esensi pengetahuan ini.
Karena korespondensi betul-betul
merupakan hubungan dua pihak
secara hakiki, maka
dapat dikatakan dengan logis bahwa jika hubungan ini terjadi,
pasti ada konjungsi antara satu objek dengan objek yang lain. Hubungan ini
tidak berlaku jika salah satu arah konjungsi
tidak benar. Selanjutnya,
seandainya tidak ada objek
eksternal, maka tidak
akan ada representasinya. Akibatnya, tidak ada
kemungkinan hubungan korespondensi
antara keduanya, sehingga tidak
ada pula kemungkinan
bagi eksistensi pengetahuan ini.[8]
Dengan pembedaan tersebut,
maka karakteristik ilmu ushuly
dan ilmu hudhury menjadi jelas,
sehingga bisa diketahui
perbedaannya serta perbedaan
hakikat atau esensi ilmu ushulydan ilmu hudhury.
Menurut Thabathabai,
pengetahuan manusia tentang diri dan esensinya adalah bentuk individuasi (tashakhus)
yang bersifat personal sehingga tidak dapat diterapkan kepada sesuatu yang lain
(berbeda dengan konsep dan bentuk mental). Dari sisi yang lain, kita mengetahui
bahwa individuasi berbarengan dengan wujud dan dapat dicapai melalui wujud
tersebut. Oleh karena itu, manusia memiliki pengetahuan yang menjadi bagian
dari ilmu tentang wujud (diri; nafs), bukan ilmu tentang esensi dan
bentuk-bentuk mental (ushuly).[9]
Begitu pula Suhrawardi,
dengan mengajukan pandangan bahwa setiap manusia memiliki pengetahuan tentang esensinya
dan pengetahuan tentang dirinya sendiri, sementara esensi orang lain tidak
dapat diketahuinya. Jenis pengetahuan ini, bukanlah pengetahuan konseptual dan bukan
berasal dari bentuk-bentuk mental atau gambaran objek. Bagi Suhrawardi, setiap
bentuk ‘yang diketahui’ atau konsep yang dipahami oleh pikiran dalam
hubungannya dengan dirinya sendiri, di mana dengan cara tertentu kebenarannya
dapat diterapkan pada sesuatu yang lain, atau sesuatu yang lain itu dapat
menggunakan istilah teknis bentuk atau konsep tersebut, maka ia disebut
‘universal’. Bentuk dan konsep (universal) ini dalam hubungannya dengan
esensinya sendiri, menolak masuknya penerapan-penerapan sesuatu selain dirinya.
Kenyataanya, dalam pemahaman kita tentang diri dan esensi kita sendiri, kita
melihat bahwa diri kita itu tidak dapat diterapkan pada sesuatu yang lain,
karenanya ia tidak bersifat universal, ia justru bersifat personal dan individual.
Sebaliknya, bentuk dan konsep ‘saya’ yang kita pahami memiliki sifat-sifat
konsep sehingga ia disebut universal. Namun, persepsi tentang esensi dan diri
tidak memiliki sifat universal tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang
memiliki pengetahuan yang bukan dari keserupaan (mitsali) dan bukan
konseptual (mafhum), maka berarti itu adalah pengetahuan hudhury.[10]
Untuk
mengenali ilmu hudhury, ada beberapa ciri yang melekat khusus padanya,
yaitu:
1.
Hadir secara
eksistensial di dalam diri subjek. Ini berarti tidak ada perantara antara
subjek dan objek pengetahuan.
2.
Bukan merupakan
konsepsi yang dibentuk dari silogisme yang terjadi pada mental. Atinya, ilmu
hudhury bukan dihasilkan dari proses berpikir, karena ia merupakan keadaan
esensial jiwa. Jika keadaan ini dikomunikasikan atau dipikirkan, maka ia akan
menjadi ilmu ushuly.
3.
Bebas dari dualisme
kebenaran dan kesalahan. Artinya, ilmu hudhury senantiasa benar dan
tidak akan mengalami kesalahan. Hal ini dikarenakan ilmu hudhury tidak
diperantarai oleh apa pun sehingga tidak ada proses korenpondensi dengan objek
eksternal, yang mana proses korespondensi itulah yang menjadi sebab bagi
kesalahan pengetahuan manusia. Karena kebenaran adalah kesesuaian subjek dengan
objek, maka ilmu hudhury yang kehadiran objek pada subjek secara
langsung dan menyatu, maka ia mengimplementasikan kebenaran secara nyata.
4.
Bersifat personal,
artinya, ilmu hudhury tidak dapat dideskripsikan dan dipindahkan kepada
orang lain. Sebab jika ditranfer melalui komunikasi atau pembelajaran, maka itu
berarti menjadi ilmu ushuly.
5.
Bersifat spiritual,
artinya subjek yang terlatih secara spiritual akan mendapatkan ilmu hudhury
tersebut dan akan mengalami degradasi dan fluktuasi sesuai dengan kondisi
disiplin latihan spiritual yang dilakukan.[11]
Adapun
jenis ilmu hudhury, secara umum terbagi pada dua, yaitu:
1)
Ilmu hudhury
sederhana, yaitu pengetahuan subjek yang mengetahui terhadap dirinya sendiri.
Contohnya, ilmu Tuhan tentang zat-Nya, dan ilmu diri terhadap dirinya sendiri.
2)
Ilmu hudhury
ganda, yaitu pengetahuan subjek atau manusia akan entitas atau objek-objek
selain dirinya sendiri. Ilmu hudhury jenis ini, terdiri dari beberapa
hal yaitu :
a.
Ilmu sebab akan akibatnya
b. Ilmu akibat akan sebabnya
c.
Ilmu subjek akan bentuk-bentuk konseptual atau mental atau
bentuk diri material
d.
Ilmu subjek akan perbuatan-perbuatan
dirinya seperti kehendak dan keputusan.
e. Ilmu subjek akan
kondisi psikologisnya seperti cinta, benci, dan takut.
2.
Metode dan Konsep Pembelajaran
Pembelajaran mengandung
makna adanya kegiatan mengajar dan belajar, di mana pihak yang mengajar adalah
guru dan yang belajar adalah siswa yang berorientasi pada kegiatan mengajarkan
materi yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan
siswa sebagai sasaran pembelajaran. Dalam
proses pembelajaran akan mencakup berbagai komponen lainnya, seperti media,
kurikulum, dan fasilitas pembelajaran.
Menurut Eggen &
Kauchak menjelaskan
bahwa ada enam ciri pembelajaran
yang efektif, yaitu:
a.
Siswa menjadi pengkaji
yang aktif terhadap lingkungannya melalui mengobservasi, membandingkan,
menemukan kesamaan-kesamaan dan perbedaanperbedaan serta membentuk konsep dan
generalisasi berdasarkan kesamaan-kesamaan yang ditemukan,
b.
Guru menyediakan materi sebagai
fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran
c.
Aktivitas-aktivitas siswa
sepenuhnya didasarkan pada pengkajian
d.
Guru secara aktif terlibat dalam
pemberian arahan dan tuntunan
kepada siswa dalam menganalisis informasi
e.
Orientasi pembelajaran penguasaan
isi pelajaran dan pengembangan
keterampilan berpikir
f.
Guru menggunakan teknik mengajar
yang bervariasi sesuai
dengan tujuan dan gaya mengajar guru
Adapun ciri-ciri
pembelajaran yang menganut unsur-unsur
dinamis
dalam proses belajar siswa sebagai berikut :
a.
Motivasi belajar
Motivasi dapat dikatakan sebagai serangkaina usaha untuk
menyediakan kondisi kondisi tertentu, sehingga seseorang itu mau dan ingin
melakukan sesuatau, dan bila ia tidak suka, maka ia akan berusaha mengelakkan
perasaan tidak suka itu. Jadi, motivasi dapat dirangsang dari luar, tetapi motivasi itu tumbuh di dalam diri
seseorang. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang/siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjalin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan
belajar sehingga tujuan yang dihendaki dapat dicapai oleh siswa (Sardiman, A.M.
1992)
b.
Bahan belajar
Segala
informasi yang berupa fakta, prinsip dan
konsep
yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Selain bahan yang berupa informasi, maka perlu diusahakan isi pengajaran dapat
merangsang daya cipta agar menumbuhkan dorongan pada diri siswa untuk
memecahkannya sehingga kelas menjadi hidup.
c.
Alat Bantu belajar
Semua
alat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran,
dengan
maksud untuk menyampaikan pesan (informasi)
dari
sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima
(siswa).
Inforamsi yang disampaikan melalui media harus
dapat
diterima oleh siswa, dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberaapa alat
indera mereka. Sehingga, apabila
pengajaran disampaikan dengan bantuan
gambar-gambar,
foto, grafik, dan sebagainya, dan siswa
diberi
kesempatan untuk melihat, memegang, meraba, atau
mengerjakan
sendiri maka memudahkan siswa untuk
mengerti
pengajaran tersebut.
d.
Suasana belajar
Suasana
yang dapat menimbulkan aktivitas atau gairah
pada
siswa adalah apabila terjadi :
1.
Adanya komunikasi dua
arah (antara guru-siswa maupun sebaliknya) yang intim dan hangat, sehingga
hubungan guru-siswa yang secara hakiki setara dan dapat berbuat bersama.
2.
Adanya kegairahan dan
kegembiraan belajar. Hal ini dapat
terjadi
apabila isi pelajaran yang disediakan berkesusaian dengan karakteristik siswa. Kegairahan dan kegembiraan belajar
juga dapat ditimbulkan dari media, selain
isis pelajaran yang disesuaikan
dengan karakteristik siswa, juga didukung
oleh
faktor intern siswa yang
belajar yaitu sehat jasmani, ada
minat, perhatian, motivasi, dan lain sebagainya.
3.
Kondisi siswa yang
belajar
Mengenai kondisi siswa, dapat
dikemukakan di sini sebagai berikut
:
a.
Siswa memilki sifat
yang unik, artinya antara anak yang
satu
dengan yang lainnya berbeda.
b.
Kesamaan siswa, yaitu memiliki langkah-langkah perkenbangan, dan memiliki potensi
yang perlu diaktualisasikan
melalui pembelajaran.[13]
Kondisi
siswa sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor intern dan juga factor luar, yaitu segala
sesuatu yang ada di luar diri
siswa, termasuk situasi pembelajaran yang diciptakan guru. Oleh Karena itu kegiatan
pembelajaran lebih menekankan
pada peranan dan partisipasi siswa, bukan
peran
guru yang dominan, tetapi lebih berperan sebagai
fasilitator, motivator, dan pembimbing.
3.
Implikasi Ilmu Ushuly dan Ilmu Hudhury
dalam pembelajaran
Salah satu ciri pengetahuan dengan
kehadiran adalah kebebasannya
dari dualism kebenaran dan
kesalahan. Dengan kata
lain, pengetahuan dengan
kehadiran itu selalu benar. Hal tersebut disebabkan tidak adanya
dualisme subjek-objek dalam ilmu hudhury, sehingga tidak akan ada
dualisme salah benar. Oleh
sebab itu, kita
selalu mengetahui apa yang terjadi
pada diri kita, sehingga
pengetahuan kita tentang diri kita sendiri tentu selalu benar dan tidak akan pernah salah.
Lebih lanjut, Yazdi menjelaskan bahwa karena hubungan
kebenaran dan kesalahan bergantung
kepada hubungan korespondensi antara subjek dengan objek
serta antara sebuah
pernyataan dengan acuan
objektifnya, maka karakteristik
ini hanya ada pada ilmu ushuly,
dan bukan pada ilmu hudhury. Dengan
kata lain, dalam
pengetahuan dengan korespondensi, kebenaran
dinilai dari korespondensi
antara subjek dan objek, dan korespondensi antara sebuah pernyataan dengan
objeknya. Apabila dalam proses korespondensi
tersebut terjadi kesesuaian,
maka pengetahuan itu disebut benar,
dan sebaliknya, apabila
dalam proses korespondensi
itu tidak terjadi
kesesuaian, maka ia
disebut salah.[14]
Dalam kaitannya dengan pembelajaran maka ilmu hudhury terbebas dari
proses pembelajaran antara guru
dan siswa, dalam artian terbebas
dari proses pembentukan
konsepsi dan konfirmasi, karena proses pembelajaran
merupakan proses komunikasi,
yaitu proses penyampaian pesan
dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Adapun hal
tersebut hanya bisa diterapkan
pada ilmu ushuly.
Adapun ilmu hudhury merupakan asas
utama dalam epistemologi Islam, karena ia menjadi landasan utama semua pengetahuan
manusia termasuk
ilmu ushuly. Dalam proses pembelajaran menuntut keaktifan guru dan siswa
yang sama-sama menjadi subjek pembelajaran. Demikian
pula bila pembelajaran di mana
siswa yang aktif tanpa melibatkan keaktifan guru untuk mengelolanya
secara baik dan
terarah, maka hanya disebut belajar. Keaktifan siswa ini tidak
terlepas dari adanya pengetahuan akan dirinya dan sang Khaliq.
Yazdi mengemukakan ciri-ciri
ilmu hudhury atau pengetahuan dengan kehadiran
sebagai berikut:
Pengetahuan dengan
kehadiran adalah jenis
pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehinga seluruh anatomi
gagasan tersebut bisa
dipandang benar tanpa implikasi apa
pun terhadap acuan
objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya,
hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan
tersebut adalah hubungan
swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.[15]
Dari penjelasan
di atas, kita
bisa mengetahui bahwa
dalam ilmu hudhury,
semua pengetahuan berada
dalam kerangka dirinya
sendiri, atau merupakan suatu
bentuk pengetahuan-diri-sendiri (self
knowledge). Dalam bentuk
pengetahuan ini, subjek sekaligus menjadi objek pengetahuan, dan tidak ada
perbedaan atau jarak (distingsi) antara subjekdan objek. Bentuk ilmu hudhury yang paling
sederhana adalah pengetahuan
tentang keadaan diri kita
sendiri, seperti
ungkapan “saya lelah’, “saya senang’ dan sebagainya.
Sebagaimana tujuan proses pembelajaran adalah untuk
mencapai hasil belajar yang optimal. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi
oleh 2 faktor, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari
luar diri siswa/faktor lingkungan.[16]
Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Dengan
demikian proses pembelajaran antara guru dan siswa yang menghasilkan suatu ilmu
pengetahuan atau objek merupakan bentuk ilmu ushuly, akan tetapi tidak terlepas
dari ilmu hudhury sebagai landasannya,
karena dalam
Ilmu hudhury objek pengetahuan langsung hadir pada siswa yang diperoleh dan dialaminya secara langsung.
Akal dan pemikiran hanyalah sarana awal saja untuk membangkitkan
kesadaran ini.
E.
KESIMPULAN
Ilmu
hudhury merupakan asas utama dalam epistemologi Islam, karena,
ia menjadi landasan utama semua pengetahuan manusia. Berbeda dengan ilmu ushuly
yang merepresentasikan objek, dalam ilmu hudhury
objek
pengetahuan langsung hadir pada subjek sehingga tidak terjadi problem dualisme:
kesalahan dan kebenaran. Pada
hakikatnya subjek dan
objek dalam ilmu hudhury
adalah satu dan sama, atau dengan kata lain, baik yang mengetahui maupun yang
diketahui itu adalah
satu dan sama
Ilmu hudhury
adalah pengetahuan
yang diperoleh dengan menghadirkan
diri, tanpa melalui
proses pembelajaran atau
pengkonsepsian. Sedangkan ilmu
ushuly, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan pembelajaran, latihan,
atau pengkonsepsian
Tujuan proses pembelajaran adalah untuk mencapai hasil
belajar yang optimal. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh 2
faktor, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar
diri siswa/faktor lingkungan. Faktor
yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Dengan
demikian proses pembelajaran antara guru dan siswa yang menghasilkan suatu ilmu
pengetahuan atau objek merupakan bentuk ilmu ushuly, akan tetapi tidak terlepas
dari ilmu hudhury sebagai landasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Thabathabai, Allamah. 1415 H. Bidayah al-Hikmah. Qum: Muassasah Nasr
al-Islami.
Rahmat, Jalaluddin. 2000. Kuliah-kuliah Tasawwuf. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Yazdi, Mehdi
Hairi. 1992. The Principle
of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. New York: State University of New York Press.
http//:krisna1.blog.uns.ac.id,Pengertian dan Ciri-ciri Pembelajaran diakses tanggal 21 Oktober 2015 h.11:29
Sudjana, Nana.
Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Wehr, Hans. 1979. Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
[1] http//:inilahcom, Nasaruddin Umar, “Reartikulasi
ajaran agama: Sifat Ilmu Ushuly dan Hudhury”, diakses tanggal 22 Oktober h.
13.40
[2] Istilah “ilmu” di sini diambil
dari Bahasa Arab “al-‘ilm”, yang artinya “pengetahuan”, atau dalam Bahasa
Inggris “knowledge”. Biasanya dalam Bahasa Indonesia, istilah “ilmu”, atau
digabungkan menjadi “ilmu pengetahuan” bermakna sama dengan “science” dalam
Bahasa Inggris. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan istilah, maka
dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah “ilmu” yang berarti
“pengetahuan”, yang akan dibedakan dengan istilah “sains”, sehingga menjadi
jelas perbedaan maknanya.
[3] Jalaluddin Rahmat, Kuliah-kuliah
Tasawwuf, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), p. 29.
[4] Mehdi Hairi Yazdi, The Principle
of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, (New York: State
University of New York Press, 1992).
[5]
Hans Wehr, Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1979).
[6]
Archie J.Bahm, Epistemology: Theory of Knowledge, (Albuquerque: World
Books, 1995), p. 5.
[13] http//:krisna1.blog.uns.ac.id,Pengertian dan
Ciri-ciri Pembelajaran diakses tanggal 21 Oktober 2015 h.11:29
No comments:
Post a Comment
MONGGO KOMENTARIPUN, KANGMAS LAN MBAK AYU